Pak Yazid Sedang Uji Coba

Kamis, 31 Mei 2012

ILMU DAN PARADIGMA ILMU-ILMU SOSIAL TALCOTT PARSONS


Oleh : Yazid Zain*)



A.    PENDAHULUAN

Paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan.[1] Kemudian bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu, seseorang yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut George Ritzer, paradigma dalam sosiologi, yaitu (1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu. (2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.[2]
Paradigma dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam teori dan metode dalam pendekatannya.

B.     BIOGRAFI SINGKAT TALCOTT PARSONS
Talcott Parsons dilahirkan di Colorado Springs, Colorado, USA pada 13 Desember 1902 dan meninggal pada 8 Mei 1979 di Munich, Jerman pada usia 76 tahun.[3] Dia adalah seorang sosiolog yang cukup terkenal dengan pemikiran-pemikirannya. Parsons lahir dalam sebuah keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan intelek. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja kongregasional, seorang profesor dan presiden dari sebuah kampus kecil.  Pada tahun 1920 ia masuk ke Amherts College dan mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1924. Setelah itu, ia melanjutkan studi pasca sarjana di London School of Economics. Pada tahun 1925, Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Di kota ini, ia ikut serta dalam sebuah pertemuan-pertemuan yang didirikan oleh  MaxWeber yang wafat lima tahun sebelum kedatangannya. Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber dan sebagian desertasi doktoralnya di Heidelberg membahas karya Weber. Pada tahun 1927, ia menjadi instruktur dalam ekonomi di Amherts. Parsons menjadi pengajar di Harvard pada tahun 1927, dan meskipun ia berpindah jurusan beberapa kali, Parsons tetap berada di Harvard sampai dengan ia wafat pada tahun 1979. Perjalanan kariernya tidak pesat. Ia tidak memperoleh posisi tetap sampai dengan tahun 1939. Dua tahun sebelumnya yakni pada 1937, ia mempublikasikan sebuah buku yang menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu buku The Structure of Social Action. Satu buku yang tidak hanya memperkenalkan teoritisi-teoritisi sosial utama semisal Weber kepada sosiolog lain.
Sesudah itu karier akademis Parsons maju pesat. Sejak tahun 1944, ia menjadi ketua jurusan sosiologi di Harvard, Amerika Serikat. Pada tahun 1946, ia menjadi ketua jurusan hubungan sosial di universitas tersebut, yang tidak hanya memasukkan sosiolog, tetapi juga berbagai sarjana ilmu sosial lainnya. Pada tahun 1949, ia dipilih sebagai Presiden Assosiasi Sosiologi Amerika. Dan pada tahun 1951 ia menjadi tokoh dominan sosiologi Amerika seiring dengan terbitnya buku karyanya The Social System. Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap radikal sosiologi Amerika yang baru muncul, karena ia dipandang konservatif (dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya). Selain itu teori-teorinya juga dipandang hanya sebagai skema kategorisasi panjang-lebar yang rumit.
Pada tahun 1980-an, teori-teorinya diminati di seluruh dunia. Menurut Holton dan Turner (1986), karya-karya Parsons memberikan kontribusi lebih besar bagi teori sosiologi, daripada Marx, Weber maupun Durkheim. Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons maupun teori-teorinya, tidak hanya mempengaruhi para pemikir konservatif namun juga teoretisi Neo-Marxian (khususnya Jurgen Habermas)
Setelah kematian Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog sangat terkenal, merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta teori itu sendiri. Robert Merton, adalah salah seorang mahasiswanya ketika Parsons baru saja mulai mengajar di Harvard.[4] Merton menjadi teoritisi terkenal karena teori ciptaannya sendiri, menjelaskan bahwa mahaiswa pascasarjana yang datang ke Harvard, di tahun-tahun itu bukan hendak belajar dengan Parsons tetapi juga dengan Sorokin,salah seorang anggota senior jurusan sosiologi yang menjadi musuh utama Parsons. Celaan Merton mengenai kuliah pertama Parsons dalam teori juga menarik, terutama karena materi yang disajikan adalah basis untuk salah satu buku teori yang paling berpengaruh pada sosiologi.
Berdasarkan semua hasil karyanya, Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis struktural modern terbesar hingga saat ini.
C.    FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atau fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas diantara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksilorasi dan prediksi.[5] Disamping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda. Teori harus mengandung konsep, pernyataan, definisi, baik itu definisi teoritis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoritis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori didalamnya harus terdapat konsep, defenisi dan proposisi, hubungan logis diantara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya Parsons menganalogikan perubahan sosial dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada makhluk hidup.[6] Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan, Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
D.    MAKNA TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Pendekatan fungsional berusaha untuk melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka. Pendekatan ini merupakan suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang.
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.[7]
Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan mutlak yang harus ada supaya termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1.      Adaptasi (adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya.
2.      Pencapain tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu.
3.      Integrasi (integration): masyarakat harus mengatur hubungan di antara komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4.      Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan mepertahankan motivasi-motivasi itu.
a.      Sistem Tindakan
Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang terkenal.[8] Parsons meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu.
1)      Sistem organisme biologis (aspek bilogis manusia sebagai satu sistem), dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan.
2)      Sistem kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
3)      Sistem sosial berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu.
4)      Sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka dalam berbuat sesuatu.
Sedangkan defenisi sistem-sistem di atas menurut Talcott Parsons adalah sebagai berikut:
a)      Sistem organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang paling dasar dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup.
b)      Sistem kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan.
c)      Sistem sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan).
d)      Sistem budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan religius, bahasa, dan nilai-nilai.
b.      Skema Tindakan
Empat komponen skema tindakan:
1)      Pelaku atau aktor: aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.
2)      Tujuan (goal): tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
3)      Situasi: tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
4)      Standar-standar normatif: ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku.
c.       Perubahan Sosial
Konsep perubahan sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk menyesuaikan diri demi terciptanya kembali equilibrium.[9] Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat evolusioner dan bukannya revolusioner. Konsep tentang perubahan yang bersifat evolusioner dari Parsons dipengaruhi oleh para pendahulunya seperti Aguste Comte, Hebert Spencer, dan Emile Durkheim.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan.[10]
Talcott Parsons menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan yang ada di Amerika, juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.[11]
Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur social dan berpandangan tentang adanya keteraturan dalam masyarakat.
Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parsons itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimism teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Gouldner (1970:142) bahwa untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas strukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.
Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang  terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus yang akan mewujudkan keseimbangan baru. Variable yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Gagasan-gagasan inti dari fungsionalisme ialah perspektif holistis (bersifat menyeluruh), yaitu sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh bagian-bagian demi tercapainya tujuan-tujuan dari keseluruhan, kontinuitas dan keselarasan dan tata berlandaskan consensus mengenai nilai-nilai fundamental.
Teori fungsional ini menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis.[12] Sehingga dalam melakukan pengkajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris berdasarkan tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan untuk menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji relitas universal tersebut maka diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.
Pendekatan fungsionalisme – struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut ini.[13]
1.      Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2.      Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik.
3.      Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis.
4.      Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
5.      Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
6.      Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa Teori Parsonsian dapat dibagai ke dalam 3 fase.[14]
1.      Fase Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik (segi kemauan) dari tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan sosiologi yang positivistis, utilitarian, dan reduksionis.
2.      Fase Kedua. Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekangan teori tindakan sosial yang mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan suatu teori tindakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.
3.      Fase Ketiga. Fase ini terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari sistem-sistem sosial dan kesibukannya dalam mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan metodologis dan epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis dan metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.[15]


E.     EMPAT FUNGSI IMPERATIF SISTEM TINDAKAN (AGIL)
Poloma menyatakan bahwa dalam teori struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat (4) fungsi untuk semua sistem tindakan.[16] Secara sederhana fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah: Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).
1.      Adaptasi.
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup. Artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
2.      Goal (Pencapaian)
Sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas, dapat berusaha mencapai tujuan utamanya. Dalam syarat ini, sistem harus dapat mengatur, menentukan dan memiliki sumber daya untuk menetapkan dan mencapai tujuan yang bersifat kolektif.[17]
3.      Integrasi
Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4.      Latensi
Pemeliharaan pola,  sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Sistem Kultural (Latency)
Sistem Sosial (Integration)
Organisme Perilaku (Adaptation)
Sistem Kepribadian (Goal Attainment)

                                         Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan Umum
Berdasarkan skema AGIL  di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi fungsi  sistem adalah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat internal), Integrasi (sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.[18]
F.     TINDAKAN SOSIAL DAN ORIENTASI SUBJEKTIF
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.[19]
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan  penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.[20]

G.   KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Parsons menggunakan masyarakat Amerika sebagai bentuk masyarakat yang terstruktur dengan baik. Namun jika menggunakan konsep AGIL yang telah diungkapkan Parsons, ia telah gagal menganalisis masyarakat Inggris yang pada saat ini masih berbentuk kerajaan. Seperti yang diungkapkan Parsons sebelumnya bahwa era evolusi akhir tidak boleh terkontaminasi dengan budaya kerajaan. Tujuan utama Parsons sendiri adalah menginginkan adanya keseimbangan masyarakat melalui perubahan sosial, namun masyarakat Inggris sendiri tetap stabil meskipun tidak mencapai era The New Lead Society seperti yang dipaparkan oleh Parsons. Pada unit analisis AGIL pun terdapat beberapa fakta yang dapat menyangkalnya, contohnya pada suku Badui dalam, masyarakat suku ini tidak beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, yang berarti menurut analisis AGIL, tidak memenuhi fungsi adaptation maka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dari sistem masyarakat tersebut. Tetapi nyatanya masyarakat suku Badui dalam tetap dapat eksis tanpa fungsi adaptation tersebut.
Pada intinya Parsons menjelaskan teori fungsionalisme strukturalnya kepada suatu pemahaman mengenai sistem yang mengacu kepada konsep equilibrium dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya untuk dapat memahami atau mendeskripsikan suatu sistem maka harus ada suatu fungsi mengenai hal tersebut. Maka dari itu Parsons percaya, bahwa ada empat persyaratan mutlak yang harus ada suypaya fungsionalis masyarakat dapat berjalan, yakni AGIL. pada dasarnya Parsons melihat bahwa AGIL ini mampu menjadi sebuah fungsi sebagai keteraturan yang harus dimiliki dan dijalankan setiap masyarakat. AGIL mempunyai arti : Adaptation (Adaptasi), Goal attainment (Pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) dan Latensi (Pemeliharaan pola). Dengan adanya hal ini, Parsons yakin bahwa tingkat keseimbangan dalam masyarakat akan tersusun dan terjaga sehingga terhindar dari adanya kerusakan fungsional antar pribadi di dalamnya, hal ini, menimbulkan banyak asumsi-asumsi yang kontroversial yang seharusnya Parsons teliti lebih lanjut, bahwa jika fungsi AGIL ini hanya mampu melenggangkan atau mempertahankan suatu kekuasaan atas kedudukan individu, maka tidak mungkin suatu sistem organisme yang ia jelaskan mampu terlaksana, serta ia terlalu merendahkan konsepsi mengenai perubahan sosial secara revolusioner yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Dalam teorinya ini, Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan daripada aktor sebagai peran yang menduduki suatu kendali sistem, bukannya mempelajari bagaimana aktor tersebut mampu menciptakan dan memelihara sistem tetapi sebaliknya.
Hal yang patut untuk di kaji lebih dalam mengenai kelemahan teori fungsionalisme-struktural & AGIL bahwa pandangan pendekatan ini terlalu bersifat umum atau terlalu kuat memegang norma, karena menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parsons bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam masyarakat.
Teori Parsons tersebut, terlalu mengedepankan strukturalisasi pencapaian yang menekankan konsep equilibrium dalam dalam sistem di masyarakat secara fakta, serta ia terlalu subjektif dengan angan-angannya bahwa setiap individu senantiasa mensosialiasikan diri terhadap lingkungan dan lingkungan juga menyesuaikan fungsinya terhadap diri, dan ia lebih menekankan pada aspek perubahan sosial secara evolusioner di bandingkan revolusioner akibat dasar pemikiran sistem biologisnya.
Adapun kritik lainnya terhadap Talcott Parsons adalah pemikirannya tentang masyarakat yang terlalu menekankan pada keseimbangan dalam masyarakat, sehingga ia kurang memperhatikan tentang perubahan dan mobilisasi sosial. Ini berarti dia melepaskan postivisme Comte dari fungsionalisme. Parsons juga gagal membuktikan keempirisan dari teorinya sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya, walaupun menurut dasar logikanya, ia menggunakan logika deduksi.
H.    KESIMPULAN
1.      Masyarakat adalah satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.  
2.      Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.
3.      Sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis, gradual (perlahan-lahan atau bertahap) melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
4.      beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan adalah harus memenuhi imperatif fungsional sebagai berikut: Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).
5.      Bahwa tindakan manusia dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar yang selalu didorong oleh kemauan (voluntaristik) untuk mencapai tujuan dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati.

 (Penulis adalah mahasiswa PascaSarjana IAI Nurul Jadid Paiton - Probolinggo)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander Stingl, The Biological Vernacular from Kant to James, Weber and Parsons, 2009 Lampeter: Mellen Press
Bachtiar, Wardi, 2006, Sosiologi Klasik (Dari Comte Hingga Parsons), Bandung: PT. Remaja  Rosdakarya offset
Beilharz, Raho, 2005, Teori-Teori Sosial; Yogyakarta: Prestasi Pelajar
Beryer, P. L., Revolusi Kapitalis, 1990 Jakarta: LP3ES, , Cetakan Pertama ( Diterjemahkan oleh Mohammad Oemar
Bisri, Mustofa & Vindi, Elisa, 2008, Kamus Lengkap Sosiologi,Yogyakarta: Panji Pustaka
K. Dwi Susilo, Rahmad, 2008,  20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
M. Poloma , Margaret, tth., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nasikun, 1988, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Rajawali
Ritzer, George, 1980, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm Science), Boston: Allyn and Bacon
Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, 2009, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Wagiyo, et.,al., 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Universitas Terbuka



[1] Wagiyo, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 5
[2] Ritzer, George, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm Science), Boston: Allyn and Bacon, 1980, hlm. 110.
[3] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 254-255
[4] Alexander Stingl, The Biological Vernacular from Kant to James, Weber and Parsons, Lampeter: Mellen Press, 2009, hlm. 54.
[5] Beryer, P. L., Revolusi Kapitalis, Jakarta: LP3ES, 1990, Cetakan Pertama ( Diterjemahkan oleh Mohammad Oemar), hlm. 17
[6] K. Dwi Susilo, Rahmad,  20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 107-109.
[7] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1988, hlm. 7
[8] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik (Dari Comte Hingga Parsons), Bandung: PT. Remaja  Rosdakarya offset, 2006, hlm. 22
[9] Raho Beilharz,  Teori-Teori Sosial; Yogyakarta: Prestasi Pelajar, 2005, hlm. 21
[10] Wagiyo, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 21
[11] Ibid., hlm. 11
[12] Bisri, Mustofa & Vindi, Elisa, Kamus Lengkap Sosiologi,Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008, hlm. 241.
[13] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 258-259
[14] K. Dwi Susilo, Rahmad,  20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 111.
[15] Ibid., hlm. 112.
[16] M. Poloma , Margaret, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, tth., hlm. 173-174
[17] K. Dwi Susilo, Rahmad,  20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm.121.
[18] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 123
[19] Wagiyo, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 27
[20] Ibid., hlm. 30.

0 komentar:

Posting Komentar