Oleh : Yazid Zain*)
A.
PENDAHULUAN
Paradigma adalah suatu pandangan yang
fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok
permasalahan dalam ilmu pengetahuan.[1]
Kemudian bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu, seseorang
yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat
rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat
diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut George Ritzer, paradigma dalam
sosiologi, yaitu (1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang
terdalam masyarakat mempengaruhi individu. (2) paradigma definisi sosial yang
menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang
ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh
terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan
pemikirannya (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku
keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok
permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan
membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.[2]
Paradigma dalam sosiologi sebagaimana
dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam teori dan metode
dalam pendekatannya.
B.
BIOGRAFI SINGKAT TALCOTT PARSONS
Talcott Parsons
dilahirkan di Colorado Springs, Colorado, USA pada 13 Desember 1902 dan
meninggal pada 8 Mei 1979 di Munich, Jerman pada usia 76 tahun.[3]
Dia adalah seorang sosiolog yang cukup terkenal dengan pemikiran-pemikirannya. Parsons
lahir dalam sebuah keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan
intelek. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja kongregasional, seorang profesor
dan presiden dari sebuah kampus kecil. Pada
tahun 1920 ia masuk ke Amherts College dan mendapatkan gelar sarjananya pada
tahun 1924. Setelah itu, ia melanjutkan studi pasca sarjana di London School of
Economics. Pada tahun 1925, Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Di kota ini,
ia ikut serta dalam sebuah pertemuan-pertemuan yang didirikan oleh MaxWeber yang wafat lima tahun sebelum
kedatangannya. Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber dan sebagian
desertasi doktoralnya di Heidelberg membahas karya Weber. Pada tahun 1927, ia
menjadi instruktur dalam ekonomi di Amherts. Parsons menjadi pengajar di
Harvard pada tahun 1927, dan meskipun ia berpindah jurusan beberapa kali,
Parsons tetap berada di Harvard sampai dengan ia wafat pada tahun 1979. Perjalanan
kariernya tidak pesat. Ia tidak memperoleh posisi tetap sampai dengan tahun
1939. Dua tahun sebelumnya yakni pada 1937, ia mempublikasikan sebuah buku yang
menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu buku The Structure of Social Action. Satu buku yang tidak hanya
memperkenalkan teoritisi-teoritisi sosial utama semisal Weber kepada sosiolog
lain.
Sesudah itu
karier akademis Parsons maju pesat. Sejak tahun 1944, ia menjadi ketua jurusan
sosiologi di Harvard, Amerika Serikat. Pada tahun 1946, ia menjadi ketua
jurusan hubungan sosial di universitas tersebut, yang tidak hanya memasukkan
sosiolog, tetapi juga berbagai sarjana ilmu sosial lainnya. Pada tahun 1949, ia
dipilih sebagai Presiden Assosiasi Sosiologi Amerika. Dan pada tahun 1951 ia
menjadi tokoh dominan sosiologi Amerika seiring dengan terbitnya buku karyanya The Social System. Pada akhir 1960-an, Parsons
mendapat serangan oleh sayap radikal sosiologi Amerika yang baru muncul, karena
ia dipandang konservatif (dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya). Selain
itu teori-teorinya juga dipandang hanya sebagai skema kategorisasi
panjang-lebar yang rumit.
Pada tahun
1980-an, teori-teorinya diminati di seluruh dunia. Menurut Holton dan Turner
(1986), karya-karya Parsons memberikan kontribusi lebih besar bagi teori
sosiologi, daripada Marx, Weber maupun Durkheim. Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons
maupun teori-teorinya, tidak hanya mempengaruhi para pemikir konservatif namun
juga teoretisi Neo-Marxian (khususnya Jurgen Habermas)
Setelah kematian
Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog sangat terkenal,
merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta teori itu sendiri. Robert
Merton, adalah salah seorang mahasiswanya ketika Parsons baru saja mulai
mengajar di Harvard.[4]
Merton menjadi teoritisi terkenal karena teori ciptaannya sendiri, menjelaskan
bahwa mahaiswa pascasarjana yang datang ke Harvard, di tahun-tahun itu bukan
hendak belajar dengan Parsons tetapi juga dengan Sorokin,salah seorang anggota
senior jurusan sosiologi yang menjadi musuh utama Parsons. Celaan Merton mengenai
kuliah pertama Parsons dalam teori juga menarik, terutama karena materi yang
disajikan adalah basis untuk salah satu buku teori yang paling berpengaruh pada
sosiologi.
Berdasarkan
semua hasil karyanya, Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis struktural
modern terbesar hingga saat ini.
C.
FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Teori adalah
seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau
sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi
yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atau
fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas diantara
variabel-variabel dengan maksud memberikan eksilorasi dan prediksi.[5]
Disamping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan
yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada
mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda. Teori harus
mengandung konsep, pernyataan, definisi, baik itu definisi teoritis maupun
operasional dan hubungan logis yang bersifat teoritis dan logis antara konsep
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori didalamnya harus
terdapat konsep, defenisi dan proposisi, hubungan logis diantara konsep-konsep,
definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi
dan prediksi.Talcott Parsons melahirkan teori
fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya Parsons menganalogikan perubahan
sosial dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada makhluk hidup.[6]
Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons
berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi
masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan, Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
D.
MAKNA TEORI FUNGSIONALISME
STRUKTURAL
Pendekatan fungsional berusaha untuk
melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang
secara pribadi mempengaruhi diri mereka. Pendekatan ini merupakan suatu
bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad
sekarang.
Fungsionalisme
struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi
yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat
secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.[7]
Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi
kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan mutlak yang harus ada supaya
termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL.
AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan
Latency. Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan
fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1. Adaptasi
(adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya.
2. Pencapain
tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan
berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu.
3. Integrasi
(integration): masyarakat harus mengatur hubungan di antara komponen-komponennya
supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency
atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus
mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu
maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan mepertahankan motivasi-motivasi
itu.
a. Sistem
Tindakan
Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan
skema AGIL-nya yang
terkenal.[8]
Parsons meyakini
bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation,
Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika
memeninuhi empat criteria ini. Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara
bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada
umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk
satu kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu.
1) Sistem
organisme biologis (aspek bilogis manusia sebagai satu sistem), dalam sistem
tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan.
2) Sistem
kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan
menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
3) Sistem
sosial berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen
pembentuk masyarakat itu.
4) Sistem
kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau
struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang
memotivasi mereka dalam berbuat sesuatu.
Sedangkan defenisi sistem-sistem di atas
menurut Talcott Parsons adalah sebagai berikut:
a) Sistem
organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang paling dasar dalam
arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke
dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup.
b) Sistem
kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang
merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah
kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk
mendapat kepuasan atau keuntungan.
c) Sistem
sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam
suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara
individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok,
institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi
internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan).
d) Sistem
budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan
religius, bahasa, dan nilai-nilai.
b. Skema
Tindakan
Empat komponen skema tindakan:
1) Pelaku
atau aktor: aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau
suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk
mencapai tujuan.
2) Tujuan
(goal): tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat.
3) Situasi:
tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang
termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
4) Standar-standar
normatif: ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna
mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang
berlaku.
c. Perubahan
Sosial
Konsep perubahan sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam
usaha untuk menyesuaikan diri demi terciptanya kembali equilibrium.[9]
Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat
evolusioner dan bukannya revolusioner. Konsep tentang perubahan yang bersifat evolusioner dari Parsons dipengaruhi
oleh para pendahulunya seperti Aguste Comte, Hebert Spencer, dan Emile
Durkheim.
Asumsi dasar dari Teori
Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi satu kesatuan atas
dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai
suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem
sosial yang satu sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan.[10]
Talcott Parsons menggunakan pendekatan
fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya.
Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan yang ada di Amerika, juga
dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan
Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott
Parsons bersifat kompleks.[11]
Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai
latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan
organisme biologis dengan struktur social dan berpandangan tentang adanya
keteraturan dalam masyarakat.
Teori Fungsionalisme Struktural Parsons
mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan
suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parsons itu dipengaruhi oleh keberhasilan
Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang
parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan
dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka
optimism teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Gouldner
(1970:142) bahwa untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan
jelas memiliki batas-batas strukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori
baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan
realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.
Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa
masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri
dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian
tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan
hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme
adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan
hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu
dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi,
sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa
perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir
pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori
ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti
sebuah siklus yang akan mewujudkan keseimbangan baru. Variable yang menjadi
perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab
perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Gagasan-gagasan inti dari fungsionalisme
ialah perspektif holistis (bersifat menyeluruh), yaitu sumbangan-sumbangan yang
diberikan oleh bagian-bagian demi tercapainya tujuan-tujuan dari keseluruhan,
kontinuitas dan keselarasan dan tata berlandaskan consensus mengenai
nilai-nilai fundamental.
Teori fungsional ini menganut faham
positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi harus
diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis.[12]
Sehingga dalam melakukan pengkajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan
alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris berdasarkan
tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional
bertujuan untuk menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan
mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional
berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin
mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya,
agar dapat mengkaji relitas universal tersebut maka diperlukan representasi
dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata
lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.
Pendekatan fungsionalisme – struktural
dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut ini.[13]
1.
Masyarakat
haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain.
2.
Hubungan
saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik.
3.
Sekalipun
integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang
bersifat dinamis.
4.
Sistem
sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan,
disfungsi dan penyimpangan.
5.
Perubahan-perubahan
dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap),
melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
6.
Faktor
paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus
atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang
digagas Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa Teori Parsonsian dapat
dibagai ke dalam 3 fase.[14]
1.
Fase Permulaan. Fase ini
berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik (segi kemauan) dari
tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan sosiologi yang
positivistis, utilitarian, dan reduksionis.
2.
Fase Kedua. Fase ini
berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekangan teori tindakan sosial
yang mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan suatu teori
tindakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.
3.
Fase Ketiga. Fase ini
terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari sistem-sistem
sosial dan kesibukannya dalam mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat
dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba untuk
mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas
hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari
kesimpulan-kesimpulan metodologis dan epistemologis dari apa yang dinamakan
sebagai konsep sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis
dan metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.[15]
E.
EMPAT FUNGSI IMPERATIF SISTEM TINDAKAN (AGIL)
Poloma menyatakan bahwa dalam teori
struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat (4) fungsi untuk semua sistem
tindakan.[16] Secara
sederhana fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya
tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi.
Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa
bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa
dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif
fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus
dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan
apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa
bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah: Adaptasi, Pencapaian Tujuan,
Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal
Attainment, Integration, Latency).
1.
Adaptasi.
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup. Artinya agar dapat
terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang ada. Harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
2.
Goal (Pencapaian)
Sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas,
dapat berusaha mencapai tujuan utamanya. Dalam syarat ini, sistem harus dapat
mengatur, menentukan dan memiliki sumber daya untuk menetapkan dan mencapai
tujuan yang bersifat kolektif.[17]
3.
Integrasi
Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga
fungsi penting lainnya.
4.
Latensi
Pemeliharaan pola,
sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki pola-pola
cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Sistem Kultural (Latency)
|
Sistem Sosial (Integration)
|
Organisme Perilaku (Adaptation)
|
Sistem Kepribadian (Goal Attainment)
|
Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan
Umum
Berdasarkan skema AGIL di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi
fungsi sistem adalah sebagai
Pemeliharaan Pola (sebagai alat internal), Integrasi (sebagai hasil internal),
Pencapaian Tujuan (sebagai hasil eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat
bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling
rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang paling tinggi,
realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi
atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan
kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua,
tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.[18]
F.
TINDAKAN SOSIAL DAN ORIENTASI SUBJEKTIF
Teori Fungsionalisme Struktural yang
dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan
teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang
tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan
pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana
(alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau
kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan
norma.[19]
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons,
yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping
itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur
lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara
normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata
lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial
yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi
dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut
dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan
mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi
oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan
bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal
tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi
subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu
diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat
berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.[20]
G.
KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME
STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Parsons menggunakan masyarakat Amerika sebagai bentuk
masyarakat yang terstruktur dengan baik. Namun jika menggunakan konsep AGIL
yang telah diungkapkan Parsons, ia telah gagal menganalisis masyarakat Inggris
yang pada saat ini masih berbentuk kerajaan. Seperti yang diungkapkan Parsons
sebelumnya bahwa era evolusi akhir tidak boleh terkontaminasi dengan budaya
kerajaan. Tujuan utama Parsons sendiri adalah menginginkan adanya keseimbangan
masyarakat melalui perubahan sosial, namun masyarakat Inggris sendiri tetap
stabil meskipun tidak mencapai era The New Lead Society seperti yang
dipaparkan oleh Parsons. Pada unit analisis AGIL pun terdapat beberapa fakta yang dapat menyangkalnya,
contohnya pada suku Badui dalam, masyarakat suku ini tidak beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya, yang berarti menurut analisis AGIL, tidak memenuhi
fungsi adaptation maka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dari sistem masyarakat tersebut. Tetapi nyatanya
masyarakat suku Badui dalam tetap dapat eksis tanpa fungsi adaptation
tersebut.
Pada intinya Parsons menjelaskan teori fungsionalisme strukturalnya kepada suatu pemahaman
mengenai sistem yang mengacu kepada konsep equilibrium dalam kehidupan
masyarakat. Menurutnya untuk dapat memahami atau mendeskripsikan suatu sistem
maka harus ada suatu fungsi mengenai hal tersebut. Maka dari itu Parsons percaya, bahwa ada empat persyaratan mutlak
yang harus ada suypaya fungsionalis masyarakat dapat berjalan, yakni AGIL. pada
dasarnya Parsons melihat bahwa AGIL ini mampu
menjadi sebuah fungsi sebagai keteraturan yang harus dimiliki dan dijalankan
setiap masyarakat. AGIL mempunyai arti : Adaptation (Adaptasi), Goal attainment
(Pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) dan Latensi (Pemeliharaan pola).
Dengan adanya hal ini, Parsons yakin
bahwa tingkat keseimbangan dalam masyarakat akan tersusun dan terjaga sehingga
terhindar dari adanya kerusakan fungsional antar pribadi di dalamnya, hal ini,
menimbulkan banyak asumsi-asumsi yang kontroversial yang seharusnya Parsons teliti lebih lanjut, bahwa jika fungsi AGIL
ini hanya mampu melenggangkan atau mempertahankan suatu kekuasaan atas
kedudukan individu, maka tidak mungkin suatu sistem organisme yang ia jelaskan
mampu terlaksana, serta ia terlalu merendahkan konsepsi mengenai perubahan
sosial secara revolusioner yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Dalam teorinya
ini, Parsons lebih tertuju kepada sistem
sebagai satu kesatuan daripada aktor sebagai peran yang menduduki suatu kendali
sistem, bukannya mempelajari bagaimana aktor tersebut mampu menciptakan dan
memelihara sistem tetapi sebaliknya.
Hal yang patut untuk di
kaji lebih dalam mengenai kelemahan teori
fungsionalisme-struktural & AGIL bahwa pandangan pendekatan ini terlalu bersifat
umum atau terlalu kuat memegang norma, karena menganggap bahwa masyarakat akan
selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi
karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parsons
bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan
dengan tangan kiri, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia
yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam masyarakat.
Teori Parsons tersebut, terlalu mengedepankan strukturalisasi pencapaian yang
menekankan konsep equilibrium dalam dalam sistem di masyarakat secara fakta,
serta ia terlalu subjektif dengan angan-angannya bahwa setiap individu
senantiasa mensosialiasikan diri terhadap lingkungan dan lingkungan juga
menyesuaikan fungsinya terhadap diri, dan ia lebih menekankan pada aspek
perubahan sosial secara evolusioner di bandingkan revolusioner akibat dasar
pemikiran sistem biologisnya.
Adapun kritik lainnya terhadap Talcott Parsons adalah pemikirannya tentang
masyarakat yang terlalu menekankan pada keseimbangan dalam masyarakat, sehingga
ia kurang memperhatikan tentang perubahan dan mobilisasi sosial. Ini berarti
dia melepaskan postivisme Comte dari fungsionalisme. Parsons juga gagal
membuktikan keempirisan dari teorinya sehingga tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, walaupun menurut dasar logikanya, ia menggunakan logika deduksi.
H.
KESIMPULAN
1.
Masyarakat
adalah satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap
nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga
masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional
terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
2.
Ketika
masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan
yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.
3.
Sistem
sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis,
gradual (perlahan-lahan atau bertahap) melalui penyesuaian-penyesuaian dan
tidak revolusioner.
4.
beberapa
persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem
sosial bisa bertahan adalah harus memenuhi imperatif fungsional sebagai berikut:
Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).
5.
Bahwa tindakan
manusia dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar yang selalu
didorong oleh kemauan (voluntaristik) untuk mencapai tujuan dengan
mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander Stingl, The
Biological Vernacular from Kant to James, Weber and Parsons, 2009 Lampeter:
Mellen Press
Bachtiar, Wardi, 2006, Sosiologi Klasik (Dari Comte
Hingga Parsons), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya offset
Beilharz, Raho, 2005, Teori-Teori Sosial; Yogyakarta: Prestasi Pelajar
Beryer, P. L., Revolusi Kapitalis, 1990
Jakarta: LP3ES, , Cetakan Pertama ( Diterjemahkan oleh Mohammad Oemar
Bisri, Mustofa & Vindi, Elisa, 2008, Kamus Lengkap Sosiologi,Yogyakarta: Panji Pustaka
K. Dwi Susilo, Rahmad, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
M. Poloma , Margaret, tth., Sosiologi
Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nasikun, 1988, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta,
Rajawali
Ritzer, George, 1980, Sosiologi,
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm
Science), Boston: Allyn and Bacon
Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, 2009, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Wagiyo, et.,al., 2007, Teori
Sosiologi Modern, Jakarta: Universitas Terbuka
[1] Wagiyo, Teori Sosiologi Modern,
Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 5
[2] Ritzer, George, Sosiologi,
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul Asli: Sociology A Multiple Paradigm
Science), Boston: Allyn and Bacon, 1980, hlm. 110.
[3] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 254-255
[4] Alexander Stingl, The
Biological Vernacular from Kant to James, Weber and Parsons, Lampeter:
Mellen Press, 2009, hlm. 54.
[5] Beryer, P. L., Revolusi Kapitalis, Jakarta: LP3ES, 1990, Cetakan Pertama ( Diterjemahkan
oleh Mohammad Oemar), hlm. 17
[6] K. Dwi Susilo, Rahmad, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 107-109.
[8] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik (Dari Comte Hingga Parsons), Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya offset, 2006, hlm. 22
[10] Wagiyo, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 21
[11] Ibid., hlm. 11
[12] Bisri, Mustofa & Vindi, Elisa, Kamus Lengkap Sosiologi,Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008, hlm. 241.
[13] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 258-259
[14] K. Dwi Susilo, Rahmad, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 111.
[15] Ibid., hlm. 112.
[16] M. Poloma , Margaret, Sosiologi
Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, tth., hlm. 173-174
[17] K. Dwi Susilo, Rahmad, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm.121.
[18] Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, hlm. 123
[19] Wagiyo, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007, hlm. 27
[20] Ibid., hlm. 30.
0 komentar:
Posting Komentar