Oleh : Yazid Zain, S.Ag *)
A.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini korupsi telah menjadi
berita utama di berbagai media massa. Kata korupsi telah menjadi icon yang
laris diperbincangkan, dibaca dan didengar dibanding dengan topik-topik lain.
Seakan-akan tiada hari tanpa berita korupsi. Terlepas apakah korupsi ini sangat
memuakkan dan menyesakkan untuk dibahas, tapi kenyataannya korupsi seolah
merupakan penyakit yang sangat kronis dan hampir tak mungkin untuk disembuhkan
– seluruh struktur tatanan masyarakat
kita mulai dari tingkat atas sampai ke level terbawah; semua tak luput dari
penyakit korupsi. Korupsi telah bermetamorfosis menjadi virus budaya
yang merembes dalam tataran pola sikap, perilaku, dan pola fikir masyarakat
kita. Jika kondisi ini tak dapat dicegah dan terus berlanjut, bukan tidak
mungkin negeri kita tercinta ini akan berada dalam gerbang kehancuran.
B.
PEMAHAMAN KELIRU TERHADAP TEKS-TEKS
AGAMA
Sungguh sangat tragis dan menyakitkan
jika kita membaca sebuah hasil survey Transparansi Internasional bahwa negeri
yang terkenal sangat religious, santun dan bahkan mayoritas adalah
muslim terbesar menduduki peringkat negara terkorup ke-enam dunia setelah
Azerbeijan dan Kamerun dan peringkat kedua di lingkungan ASEAN setelah Myanmar
(Media Indonesia 20/10/2005). Memang tidak masuk akal tapi inilah faktanya.
Pertanyaan yang paling mendasar dan patut diajukan adalah mengapa usaha
pemberantasan korupsi di Indonesia selalu gagal?
Seperti yang telah dikemukakan di atas,
korupsi telah bermetamorfosis menjadi virus budaya yang merembes kedalam
tataran pola sikap, perilaku dan pola berpikir masyarakat. Kondisi ini sangat
terlihat bahwa aksi korupsi dilakukan dalam berbagai bentuk yang bervariasi.
Mulai dari individu atau kelompok, terang-terangan maupun samar, sporadis ataupun
terorganisir dengan berbagai macam modus dari level atas sampai menengah ke
bawah.
Ada berbagai sebab atau asumsi yang
menyebabkan gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satunya adalah
korupsi hanya dipandang dari segi hukum saja. Padahal, korupsi sangat berkaitan
dengan berbagai faktor seperti faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan
agama. Korupsi dari segi hukum hanyalah ibarat melihat gunung es di atas
permukaan air laut. Di atas air terlihat kecil, tapi di bawah permukaan jauh
lebih besar, rumit dan sangat komplek. Bahkan bukan tidak mungkin kita semua
merupakan bagian dari korupsi itu sendiri! Maka akan sangat sia-sia memberantas
korupsi sebatas menangani gunung es di atas air tanpa memikirkan bangunan di
bawahnya yang jauh lebih besar.
Ada berbagai macam analisis tentang
hubungan normatif antara pemberantasan korupsi dan agama, tapi jarang atau
sedikit sekali yang mau mengkaji melalui pendekatan empirik. Orang yang memeluk
agama sudah tentu meyakini agamanya paling benar dan memberantas semua
perbuatan yang tidak baik dan tidak benar, termasuk tindak korupsi. Kepercayaan
dan keyakinan tersebut menumbuhkan harapan yang terlampau besar kepada agama
untuk memberantas korupsi sering tidak proporsional. Sewaktu agama secara
empirik tidak mampu memenuhi harapan, timbullah kekecewaan yang mendalam.
Kekecewaan ini semakin diperparah
dengan mendangkalnya pengetahuan, penafsiran, dan penghayatan teks-teks suci
agama yang berujung pada miskinnya perwujudan teks-teks tersebut dalam bentuk perilaku
dan tindakan nyata yang dapat dengan mudah diteladani dan menjadi sumber
rujukan masyarakat awam. Teks-teks suci agama hanya sebatas disampaikan di atas
mimbar, forum diskusi atau kajian akademik tapi hampa dalam kenyataan. Para
tokoh agama gagal menterjemahkan agama dari bentuknya yang abstrak menjadi
wujud nyata dan dapat dilihat serta dapat dirasakan. Agama telah dibuat “tidak
mampu” untuk menjawab segala persoalan hidup, termasuk menangani korupsi.
Pada tataran teori, setiap agama adalah
mulia, lurus dan suci. Ajarannya mengajarkan, mengajak dan memerintahkan semua
pemeluknya untuk berbuat baik, ikhlas, adil, bersih, jujur dan akhlak-akhlak
mulia lainnya. Bahkan agama melarang melakukan perbuatan buruk dan membahayakan
manusia dan kemanusiaan. Ingat hadits Nabi yang menyatakan bahwa beliau diutus
untuk menyempurnakan akhlak. Juga hadits penyuap dan yang disuap sama-sama
masuk neraka. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa shalat mencegah dari perbuatan
keji dan munkar (QS. 29:5). Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dipotong
tangannya (QS. 5:41) dan seterusnya.
Dalam tataran doktrin dan norma, agama
sangat mulia, suci dan luhur. Namun setelah agama menubuh (embodying)
menjadi orang yang beragama, organisasi agama, maka dalam bentuk orang atau
lembaga tersebutsangat mungkin terkooptasi oleh dosa dan salah. Agama telah
mewujud menjadi bangunan (masjid/rumah ibadah) dapat saja menjadi kotor. Agama
telah menubuh menjadi lembaga kementerian, MUI, parpol agama, sekolah agama,
ulama, kyai, dan sebagainya, maka agama sangat mungkin terkena oleh penyakit
kemasyarakatan tersebut. Memandang agama pada tataran empiris tersebut sebagai
seuatu yang sakral, penghormatan pada lembaga-lembaga keagamaan yang
berlebihan, dapat menghambat pemberantasan korupsi. Bahkan, salah persepsi
terhadap lembaga-lembaga keagamaan dapat mengakibatkan lembaga keagamaan
menjadi sumber korupsi atau tempat money laundry.
Itulah sebabnya, sebagai seorang muslim
kita harus senantiasa cerdas menangkap pesan-pesan teks-teks suci agama agar
kita tak terjebak dalam perilaku, sikap, pola pikir dan tindakan yang
bertentangan dengan apa yang diinginkan-Nya. Kita harus menjadi pribadi yang
kritis, jeli dan peka dalam memandang esensi segala persoalan dalam perspektif
agama, apalagi menyangkut persoalan korupsi yang selalu memperbaharui diri
dalam berbagai bentuk dan modusnya yang kian berkembang dari waktu ke waktu.
Salah satu godaan seorang ulama, tokoh
dan aktifis agama, adalah semangat atau keinginan yang berlebihan untuk
menjadikan agamanya unggul, megah, dan menang dalam persaingan duniawi.
Ciri-cirinya adalah jumlah pemeluk yang banyak, bangunan ibadah yang besar,
megah dan indah serta ritual keagamaan yang mewah. Untuk mewujudkannya, tentu
dibutuhkan dana, fasilitas dan massa yang tidak sedikit. Tak jarang, “ oknum “
ulama, tokoh dan aktifis agama banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan tanpa
memperhatikan apakah hal tersebut halal atau haram dalam perspektif agama.
Kenyataan ini juga tampak dalam
kehidupan sehari-hari, di mana seorang pejabat tak merasa bersalah menggunakan
peralatan kantor untuk kepentingan rumah tangganya, menggunakan mobil dinas
untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, memalsu kwitansi, me-mark-up
anggaran, memanipulasi laporan menerima suap untuk memuluskan tender. Para
pengusaha juga demikian, melakukan korupsi dalam melaksanakan pekerjaannya.
Para lulusan perguruan tinggi ramai-ramai melakukan suap terselubung demi
mendapatkan pekerjaan. Semua dilakukan dengan dalih untuk kepentingan bersama,
untuk kemaslahatan umat. Bahkan bukan tidak mungkin hasil perbuatan korupsi
digunakan untuk membangun masjid/rumah ibadah, untuk ongkos naik haji,
menyumbang ke panti asuhan, membangun sarana pendidikan dan kegiatan sosial
lainnya. Mereka berpendapat bahwa perbuatan tersebut tidak tergolong
fakhsya’ dan munkar yang dilarang agama. Bahkan tak jarang seorang
koruptor merasa sebagai seorang pahlawan, merasa berjasa melayani atasan,
menjembati kepentingan umum dan memperlancar program pemerintah.
Korupsi adalah konsekuensi dari
penerapan administrasi modern, di mana menurut administrasi ini
dibedakan/dipisahkan antara harta negara/pemerintah, dengan harta pribadi
seorang pejabat. Administrasi modern ini berasal dari Barat. Sedangkan dalam
budaya Indonesia zaman dulu berlaku asas menyatunya harta raja dengan harta
negara, menyatunya harta kyai dengan harta pesantren (Onghokham : 1983).
Sehingga pemisahan harta model administrasi Barat merupakan hal yang baru bagi
orang Indonesia. Sebagai contoh, pemakaian harta negara oleh raja, penggunaan
harta pesantren oleh kyai, bukanlah suatu penyimpangan atau pelanggaran. Alasan
filosofi, dalam Islam tiada pemisahan harta. Di zaman feodal, segala sesuatu
adalah milik raja, dan segala yang ada di pesantren adalah milik kyai. Faham
dan sikap tidak membedakan dan memisahkan hak public dan hak pribadi ini
ternyata masih terbawa oleh sebagian besar pejabat dan karyawan Negara tercinta
sampai saat ini.
Menurut hemat penulis, sekali lagi kita
perlu merekonstruksi ulang pemahaman kita akan teks-teks agama yang terdapat
dalam kitab suci seperti yang dikemukakan di atas. Apalagi yang menyangkut
perbuatan-perbuatan yang dikategorikan fakhsya’ dan munkar, yang seolah
dikaburkan atau sengaja dikabur-kaburkan dalam rangka mendapatkan pembenaran
karena perbuatan tersebut sekilas melahirkan kebaikan yang menyebar ke khalayak
umum.
Perbuatan korupsi jelas sangat
merugikan dan setiap perbuatan yang merugikan apapun bentuknya sangat dilarang
dan terlarang dalam semua agama tidak terkecuali Islam. Bahkan Islam juga
dengan tegas melarang mencampuradukkan melakukan perbuatan baik dengan
perbuatan buruk, di mana sebagai konsekwensinya Allah tidak akan menerima amal
perbuatan tersebut. Islam juga mengajarkan bahwa sekecil apapun amal perbuatan
kita semua pasti akan mendapat balasan yang adil. Islam juga mengecam orang
yang melakukan kerusakan, yang memfasilitasinya, memerintahkannya, yang
memberikan kesempatan dan yang ikut serta melakukannya. Jika kita cukup intens
dan sedikit bersusah payah melakukan kajian literature kitab-kitab Fiqh karya
para ulama klasik dalam Islam, pada akhirnya kita akan sampai pada suatu
pemahaman tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan fakhsya’ dan munkar
dan mampu menyimpulkan tindakan-tindakan yang dikategorikan perilaku korupsi.
Pada akhir, tinggal kita mewujudkan pemahaman hasil kajian tersebut dalam
bentuk sikap, perilaku dan pola pikir agar kita tak terjerat dalam tindak
korupsi.
C.
REKOMENDASI
Korupsi telah menjadi endemik yang
mewabah di seluruh lapisan dan golongan masyarakat Indonesia. Untuk memberantas
korupsi kita harus memulai dari diri
sendiri karena untuk memulai suatu kerja besar harus di mulai dari hal yang
kecil. Demikian juga dengan pemahaman keagamaan kita, haruslah senantiasa kita
perbaharui dengan berbagai kajian untuk memperluas wawasan agar teks-teks suci
keagamaan kita tetap bisa menjawab dan tak kehilangan relevansinya dalam
mengatasi persoalan hidup dan tuntutan perkembangan zaman yang serba kompleks
dan selalu berkembang. Sebagai hasil akhirnya, kita dapat memahami, mengamalkan
dan menghayati teks-teks keagamaan kita dengan benar.
(Penulis adalah Penyuluh Agama Islam
Kan. Kemenag Kab. Probolinggo)
Alamat Kantor: Kementerian Agama
Kantor
Kabupaten Probolinggo
Jl.
KH. Hasan Genggong No. 235 Probolinggo
0 komentar:
Posting Komentar