Oleh
: Yazid Zain
A.
LIKA-LIKU
PEREMPUAN DALAM LINTAS PERADABAN
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya
Alqur’an terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India
dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha,
Zoroaster dan sebagainya. Pada periode ini kedudukan perempuan sangat
memprihatinkan, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh
belahan dunia. Mereka hampir tidak memiliki hak untuk hidup dengan layak.
Bahkan perempuan tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan
memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat
di masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah
peradaban masyarakat terdahulu.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban perempuan. Di kalangan
elite mereka, perempuan-perempuan ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Di
kalangan bawah nasib perempuan sangat menyedihkan. Mereka diperjual-belikan,
sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya.
Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada
puncak peradaban Yunani, perempuan diberi kebebasan sedemikian rupa untuk
memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak
dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat
kegiatan politik dan sastra/seni. Patung-patung telanjang yang terlihat di
Negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan
mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari
hubungan gelap itu lahirlah “Dewi Cinta” yang terkenal dalam peradaban
Yunani.
Dalam hukum Romawi, perempuan diperlakukan seperti
anak kecil atau orang gila. Perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Mereka tidak memiliki hak milik dan dianggap
hanya sebagai sosok tanpa pribadi. Seorang kepala keluarga boleh menjual siapa
pun yang dikehendakinya dari sekian banyak perempuan yang berada di bawah
tanggungannya. Ia berkuasa atas perempuan-perempuan itu sejak lahir hingga
mereka meninggal dunia. Ia berhak menjual, mengusir, menyiksa atau bahkan membunuh
mereka. Segala hasil usaha perempuan menjadi hak milik keluarganya yang
laki-laki. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke – 6 Masehi.
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang perempuan yang
bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; isteri harus dibakar
hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17
Masehi. Perempuan pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen
bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Sebagai tanda kesetiaan jika
suaminya meninggal, hidup seorang isteri harus berakhir di kobaran api unggun
pembakaran bersama-sama dengan mayat suaminya. Ritual sadis ini dikenal dengan
upacara Suttee di India. Petuah sejarah kuno
mereka mengatakan bahwa “Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada perempuan”.
Menurut hukum Cina, perempuan sama sekali tidak berharga. Perempuan hanya boleh
bekerja di bidang-bidang yang dianggap rendah dan hina. Petuah Cina kuno mengajarkan,
“Anda boleh mendengar pembicaraan perempuan tetapi sama sekali jangan
mempercayainya. Agar seorang perempuan dapat dikatakan cantik dan
beradab menurut adat setempat, sejak kanak-kanak kedua kakinya diikat
erat-erat, dimasukkan dalam sepatu yang sangat kecil. Semakin kecil ukuran kaki
seorang perempuan maka dia akan semakin cantik dan terhormat. Tentu saja,
tradisi bodoh ini sangat menyiksa kaum perempuan sepanjang hidupnya.
Dalam ajaran Yahudi, martabat perempuan sama dengan
pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki. Jika perempuan sedang menstruasi (haidh) mereka harus
dikucilkan jauh dari orang-orang dalam sebuah gubug terpencil, mengenakan
pakaian khusus dan semua barang-barang yang disentuhnya dianggap najis. Di
samping itu mereka harus mengenakan cadar untuk menghindari bertemu atau
bertatapan langsung dengan kaum lelaki karena tatapan wanita yang sedang haidh
adalah tatapan mata Iblis. Ajaran mereka menganggap perempuan sebagai sumber
laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dalam pandangan
sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa perempuan adalah senjata
Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke - 5 Masehi diselenggarakan suatu
konsili yang memperbincangkan apakah perempuan mempunyai ruh atau tidak.
Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa perempuan tidak mempunyai ruh yang suci.
Bahkan pada abad ke - 6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas
apakah perempuan manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan
bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani
laki-laki. Dalam tradisi Arab jahiliyah, mempunyai anak perempuan dianggap aib
yang besar dan mencoreng kehormatan keluarga. Perempuan dianggap tidak bisa
berperang membela keluarga, suku/kabilahnya dan tidak bisa meneruskan kejayaan
serta mudah ditangkap dalam peperangan. Karena anggapan ini, muncullah tradisi
menguburkan bayi perempuan hidup-hidup beberapa saat setelah dilahirkan.
Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan sangat
memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui
hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai 1882 perempuan Inggris belum lagi
memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke
pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter perempuan pertama
di dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849,
teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa
perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter
bermaksud untuk mendirikan Institut Kedokteran untuk perempuan di Philadelpia,
Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter
yang bersedia mengajar di sana. Di Eropa hingga tahun 1942, perempuan tidak boleh
mengelola sendiri barang-barang miliknya. Hanya suami yang berhak untuk
mengelola dan bertanggungjawab atas apapun yang dimiliki oleh istrinya.
B.
BENARKAH
PEREMPUAN DARI TULANG RUSUK LAKI-LAKI?
Berbicara mengenai kedudukan perempuan, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Qur’an tentang asal kejadian
perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman
Allah dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 13 :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini berbicara tentang kejadian manusia – dan seorang
lelaki dan perempuan – sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia – baik
lelaki maupun perempuan – yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau
jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah swt. Memang, secara tegas dapat
dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam pandangan Al-Qur’an mempunyai
kedudukan yang terhormat.
Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki
dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang
sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan
keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan. Dalam Al-Qur’an, tidak dikemukakan kepada kita
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi umat manusia diberitahu
bahwa Allah telah menciptakan mereka semua dari “satu jiwa” dan darinya Allah
menciptakan pasangannya dan bahwa melalui keduanya “Dia memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak”. Sebagaimana Q.S. An-Nisa’ (4) ayat 1 :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.
Ayat tersebut mengisyaratkan asal usul kejadian kejadian
perempuan. Dalam Al-Qur’an tidak dijumpai ayat-ayat yang secara rinci
menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini
dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak
pernah ditemukan dalam Al-Qur’an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia
pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan. Akan tetapi
maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut
menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat,
siapa sebenarnya yang dimaksud “diri yang satu” (nafs al-wahidah), siapa
yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “daripadanya” (minha), dan apa
yang dimaksud “pasangan”(zawj) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu’tabar dari kalangan jumhur seperti
Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Mizan, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Bahr
Al-Muhith, Tafsir Ruh Al-Bayan, Tafsir Al-Kasysyaf, Tafsir Al-Sa’ud, Tafsir
Jami Al-Bayan dan Tafsir Al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs
al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan “dari
bagian tubuh Adam”,dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam.
Ulama lain seperti Abu Muslim Al-Isfahani, sebagaimana dikutip oleh Ar-Razi
dalam tafsirnya (Tafsir Ar-Razi) mengatakan bahwa dhamir “ha” pada kata minha
bukan dari bagian tubuh Adam tetapi “dari jins (gen), unsur pembentuk Adam”.
Benar bahwa ada suatu hadits Nabi yang dinilai shahih atau
(dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi: “Saling pesan
memesanlah untuk berbuat baik kepada
perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (HR.
Bukhari,Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah). Benar ada hadits yang
berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat
kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah
menjelaskan makna sesungguhnya dari hadits tersebut.
Dalam Injil, Adam – lah yang pertama kali mendefinisikan
jenis kelamin Hawa sebagai ‘wanita’ (2:23) lalu memberinya nama Hawa setelah ia
menyebabkan kehancuran (3:20). Hawa ditakdirkan untuk berhasrat kepada Adam dan
membuat Adam berkuasa atas dirinya. Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsir
Al-Manar, menulis: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
Kitab Perjanjian Lama (Kejadian 11;21) dengan redaksi yang mengarah kepada
pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas
dalam benak seorang muslim. Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam
pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena
ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki,
hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap
tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan
perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami hadits di atas seperti yang
telah dikemukakan, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi
kodrat (bawaannya) sejak lahir. Dalam Q.S. Al-Isra’ (17) ayat 70 ditegaskan
bahwa:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Tentu kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan
perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup
anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini
dipertegas oleh Q.S. Ali ‘Imran (3) ayat 195 yang menyatakan : Sebagian kamu
adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa “sebagian kamu (hai
umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma
lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga”. Sebagaimana ayat:…(karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. (Q.S. Ali ‘Imran
(3): 195)
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara
lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Qur’an. Karena itu dikecamnya mereka yang
bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh
anak perempuan, sebagaimana Q.S. An-Nahl (16): 58 – 59 :
58. Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah.
59. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha
Al-Qur’an untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki
dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Demikian terlihat bahwa Al-Qur’an mendudukkan perempuan pada
tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru
yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
(Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Kraksaan)
0 komentar:
Posting Komentar